Jakarta – Virus Covid-19 masih belum berhenti untuk bermutasi. Setelah negara di dunia berjuang untuk lepas dari belenggu varian delta, yang menyebabkan gelombang baru, kali ini kembali muncul varian baru yang tak kalah mengkhawatirkan.
Varian yang diberi nama varian R.1 muncul di sebuah panti jompo di Kentucky, Amerika Serikat. Hingga saat ini dikabarkan bahwa varian ini telah menyebar di 47 negara bagian di negara tersebut.
Mengutip berbagai sumber, varian baru ini disebut mengandung sejumlah mutasi, di antaranya varian D614G yang terbukti meningkatkan kemampuan menular.
Artinya, varian R.1 ini diduga memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi lagi dibanding varian lainnya, Namun memang masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai dugaan ini.
Meski demikian, saat ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkategorikan varian ini dalam ‘Variants Under Monitoring’, yang semula disebut ‘Alerts for Further Monitoring’. Belum dikategorikan sebagai variant of concern (VOC) maupun varian of interest (VOI).
Dalam daftar pantauan varian COVID-19, WHO menyebut varian R.1 terdeteksi pertama kali pada Januari 2021 di ‘multiple countries’. Namun beberapa sumber menyebut, varian ini pertama kali ditemukan di Jepang, sehingga disebut ‘varian asal Jepang’.
Laporan Newsweek mengungkapkan dilihat dari mutasinya, varian R.1, yang pertama kali dideteksi di Jepang, mampu melewati perlindungan antibodi yang diciptakan vaksinasi penuh (dua suntikan vaksin Covid-19).
Varian ini disebut-sebut lebih berbahaya lantaran varian ini merupakan versi virus SARS-CoV-2 yang mengalami mutasi terkait dengan perubahan fungsi dari virus.
Hal ini disampaikan oleh Sarjana Senior di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health’s Center for Health Security, Amesh A. Adalja, melansir Health.
Dia menjelaskan, identifikasi strain baru tidak selalu menyebabkan kepanikan. Sementara varian baru apa pun dapat menimbulkan ancaman. Menurutnya kecil kemungkinan varian R.1 akan menyalip varian Delta sebagai mutasi virus SARS-Cov-2 yang paling parah atau dapat ditularkan.
“Saya tidak menduga itu akan menjadi masalah besar karena tidak memiliki kemampuan untuk menggantikan Delta,” katanya. “Sangat sulit bagi jenis mutasi ini untuk mendapatkan pijakan di negara yang memiliki varian Delta,” ungkapnya.
Sementara itu, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menganalisis data dari wabah panti jompo Kentucky yang terjadi pada bulan Maret. Laporan itu menunjukkan bahwa, di antara 83 orang dan 116 petugas kesehatan, 26 orang dan 20 pekerja dinyatakan positif Covid-19. Dari pengujian genome ditemukan bahwa infeksi tersebut disebabkan oleh varian R.1.
Semua orang yang terinfeksi memiliki gejala dan salah satunya meninggal. Sekitar 90% penghuni panti jompo dan 52% staf telah divaksinasi lengkap, secara keseluruhan, 25,4% penghuni dan 7,1% staf terinfeksi.
Selain itu, CDC mengungkapkan bahwa tingkat serangan varian R.1 3-4 kali lebih tinggi di antara penduduk yang tidak divaksinasi dan profesional kesehatan dibandingkan mereka yang divaksinasi. Organisasi tersebut juga mencatat bahwa data menunjukkan bahwa vaksin Covid-19 kemungkinan kurang efektif terhadap R.1.
Di AS, kasus R.1 tercatat 2.259, sementara di Jepang sebanyak 7.519 kasus. Sejauh ini dua negara tersebut memimpin sebagai negara dengan kasus varian R.1 terbanyak.
Dikutip dari Newsweek varian terbaru ini telah ditemukan di 31 negara termasuk China, India, dan Eropa bagian barat. Hingga 21 September ada 10.567 kasus R.1 yang dilaporkan terdeteksi di seluruh dunia.
[Dexpert.co.id]
(rah)