JakartaDexpert.co.id – Impor barang konsumsi merosot per Agustus 2024 di tengah munculnya fenomena deflasi empat bulan beruntun sejak Mei-Agustus 2024.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Pudji Ismartini mengatakan, impor barang konsumsi pada Agustus 2024 turun, baik dibanding bulan lalu, maupun bulan yang sama tahun sebelumnya.
Impor barang konsumsi per Agustus 2024 senilai US$ 1,98 miliar, turun 4,58% dibanding Juli 2024 sebesar US$ 2,07 miliar. Dibanding Agustus 2023 yang senilai US$ 2,14 miliar turunnya sampai 7,40%.
“Impor barang konsumsi yang mengalami penurunan ini adalah bahan bakar mineral atau HS27 sebesar 38%, Kemudian mesin atau perlengkapan elektrik dan bagiannya atau HS85 turun 25,41%, kemudian sayuran atau HS07 ini turun sebesar 26,06%. Ini keadaan bulanan,” kata Pudji di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Selasa (17/9/2024).
Walaupun secara bulanan dan tahunan impor barang konsumsi merosot, namun secara kumulatif Januari-Agustus 2024 naik 3,43% dibanding Januari-Agustus 2023, dengan nilai menjadi sebesar US$ 14,48 miliar, dari sebelumnya hanya sebesar US$ 14 miliar.
Pudji mengatakan, meskipun impor barang konsumsi merosot per Agustus 2024, belum bisa ditarik kesimpulan bahwa daya beli masyarakat tengah lesu. Ia menekankan, untuk mengambil kesimpulan itu perlu banyak data yang menjadi basis pembentuknya.
“Jadi sekali lagi terkait penurunan daya beli banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, sehingga kalau kita hanya menggunakan informasi tunggal dari perubahan nilai impor barang konsumsi ini tentunya belum cukup untuk menarik kesimpulan tersebut,” tegas Pudji.
“Jadi perlu banyak kajian lebih lanjut untuk memastikan bahwa memang hal ini mengindikasikan penurunan daya beli,” ungkapnya.
Anjloknya impor barang konsumsi ini terjadi seiring dengan munculnya data deflasi selama Mei-Agustus 2024. Pada Mei, deflasi tercatat sebesar 0,03%, lalu memburuk pada Juni 2024 menjadi 0,08%, Juli menjadi 0,18, dan Agustus kembali ke level 0,03%.
Indonesia sebelumnya pernah mengalami deflasi beruntun pada 1999, 2008 dan 2020. Deflasi ini dipicu oleh penurunan harga pangan bergejolak a.l. bawang merah, daging ayam ras, tomat dan telur ayam ras.
Pemerintah dan otoritas moneter yakni Bank Indonesia (BI) menganggap bahwa deflasi yang terjadi empat bulan beruntun, seiring dengan terus anjloknya angka PMI Manufaktur, belum menjadi alarm yang menandakan aktivitas ekonomi domestik tengah melemah.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti mengatakan, kondisi itu disebabkan deflasi sendiri terjadi karena harga-harga pangan yang menurun drastis, yang menjadi pertanda bahwa pemerintah mampu mengendalikan harga pangan secara baik.
“Enggak, enggak (alarm). Kan pangan yang pemicunya, berarti kan berhasil pengendalian pangan, jadi lebih ke pangan ya, kan pangannya deflasi gede,” ujar Destry di Gedung DPD RI, Jakarta, dikutip Selasa (3/9/2024).
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menganggap, deflasi empat bulan beruntun yang terjadi di Indonesia ini tidak mencerminkan daya beli masyarakat yang tengah tertekan.
Ia mengatakan, ukuran daya beli masyarakat yang terlihat dalam inflasi biasanya tercermin dari terus tertekannya angka inflasi inti. Sementara, deflasi yang terjadi saat ini lebih karena anjloknya inflasi bahan pangan bergejolak atau volatile food.
Sebagaimana diketahui, angka inflasi inti per Agustus 2024 di level 0,20% naik tipis dari bulan sebelumnya di level 0,18%. Sementara itu, harga pangan bergejolak deflasi sebesar 1,24%, melanjutkan tren deflasi bulan sebelumnya di level 1,92%.
“Kalau lihat dari core inflation-nya masih positif, mungkin bukan dari situ,” kata Sri Mulyani saat ditemui di kawasan Gedung DPD RI, Jakarta.
“Kalau deflasi berasal dari harga pangan, itu kan memang diupayakan oleh pemerintah untuk menurunkan, terutama kan waktu itu inflasi dari unsur harga pangan kan cukup tinggi terutama dari beras, kemudian el nino, jadi kalau penurunan koreksi terhadap harga pangan itu menjadi tren yang positif,” tegasnya.
Namun, Sri Mulyani mengingatkan pemerintah tentu tetap waspada terhadap data-data strategis tersebut. Hanya saja, ia menekankan, deflasi empat bulan beruntun itu tidak disebabkan angka inflasi inti yang ambruk, sehingga menandakan daya beli masyarakat turun.
“Kita akan tetap waspada ya, kalau kita lihat core inflation-nya masih cukup bagus dan masih tumbuh, ya itu oke,” ungkap Sri Mulyani.
(Sumber: CNBC.com )