Jakarta – Huawei telah dipaksa untuk mengadopsi mentalitas startup karena sanksi Amerika Serikat (AS). Ini merupakan pernyataan dari Catherine Chen, anggota dewan direksi Huawei.
“Kami sekarang berada dalam situasi yang rumit. Saya merasa sangat mirip dengan menjadi startup lagi. Memulai bisnis dengan melibatkan banyak ketidakpastian. Banyak elemen yang kita andalkan di masa lalu sekarang berubah,” ujar Catherine Chen seperti dikutip dari Laporan Guardian, Senin (6/9/2021).
“Kepercayaan diri itu penting untuk sebuah startup. Bagi para startup, kesuksesan adalah asil dari cita-cita bukan perhitungan.”
“Sebenarnya, kami telah mengatasi banyak tantangan selama lebih dari 30 tahun terakhir. Kali ini, tantangan yang kita hadapi bukanlah hasil dari beberapa masalah internal. Sebaliknya, itu adalah tekanan eksternal. Faktanya, tantangan ini telah menghidupkan kembali semangat lebih dari 190.000 karyawan kami.”
Catherine Chen menambahkan Huawei akan bertahan dan akhirnya melepaskan diri dari belenggu AS dengan menggunakan keahlian teknisnya guna memasuki pasar baru yang tidak bergantung pada AS seperti konservasi energi hingga mobil listrik.
Pemerintahan Donald Trump memasukkan Huawei ke daftar hitam karena mengklaim teknologi 5G perusahaan untuk memata-matai negara lain atas nama negara China. Kemudian AS juga mengubah aturan kontrol ekspornya untuk memblokir semua pengiriman chip dan komponen tanpa izin ke Huawei. Pemasok non-AS, jika mereka menyertakan mesin atau teknologi Amerika juga harus menuruti aturan itu.
Meski berganti kepemimpinan, Presiden AS Joe Biden tetap mendukung aturan pembatasan Huawei.
Dampak kebijakan ini terlihat jelas. Pendapatan Huawei turun secara tahunan sebesar 38% pada 2020. Smartphone premium yang diluncurkan pada akhir Juli tidak menggunakan teknologi 5G atau dengan Google Play store.
[Dexpert.co.id]
(Update dari:CNBC.com )