Jakarta – Chief Technology & Product Officer PT Link Net Tbk (LINK) Edward Sanusi mengungkapkan pandemi Covid-19 dan terbatasnya mobilitas masyarakat menjadi pemicu meningkatnya digitalisasi dan kebutuhan internat. Perusahaan pun mengalami peningkatan pelanggan, dan ledakan traffic di masa pandemi.
“Untuk mengkonversi demand tersebut dibutuhkan kerja keras, karena ada pembatasan akses, menyambungkan jaringan bukan hal yang mudah. Saya rasa seluruh operator berupaya untuk memaksimalkan jaringannya, sejak Maret hingga Desember 2020 kami mengalami lonjakan traffic 70% terutama untuk akses video,” kata Edward dalam Tech Conference 2021 CNBC Indonesia, Rabu (15/9/2021).
Dia menambahkan pihaknya fokus meningkatkan layanan internet seiring dengan peningkatan kebutuhan. Pasalnya, berbeda dengan sebelum pandemi, pelanggan kini tidak dapat menoleransi jaringan yang lambat karena aktivitas di rumah.
“Untuk mengetahui jaringan yang sedang bermasalah, kami berinovasi terus bagaimana cara kami menghadapi keluhan pelanggan. Misalnya dengan chatbot atau digital assistant untuk memetakan masalah yang dialami pelanggan. Kemudian sebagian dari Capex (capital expediture) setiap tahunnya kami dedikasikan untuk maintenance, dan cara kita menghadapi complain pelanggan,” jelasnya.
Selain peningkatan kualitas dan kecepatan internet, masih ada tantangan yang dihadapi Link Net seperti rendahnya penetrasi home broadband di Indonesia dibandingkan negara lainnya. Edward mengatakan masih ada ruang untuk meningkatkan penggunaan home broadband dengan besarnya potensi pasar, namun terkendala infrastruktur.
Saat ini Link Net telah hadir di 23 kota di Indonesia, dan mayoritas masih di Pulau Jawa belum menyebar ke pulau lainnya. Dia mengungkapkan infrastruktur dan skala ekonomi menjadi salah satu isu dalam memperluas layanan internet.
“Ada 2,8 juta rumah yang siap terkoneksi tapi kami hanya bisa konversi pelanggan 30-40% dari potensi tersebut, dari sudut pandang lain artinya dua pertiga dari potensi tersebut tidak ter-utilisasi,” ujarnya.
Tantangan lainnya menurut Edward, yakni membangun infrastruktur secara efisien dengan begitu biaya per sambungan internet yang dilakukan bisa lebih murah dan memberikan harga bandwidth yang sesuai.
“Dari sisi strategi pengembangan bisnis kami selalu ingin mengembangkan jaringan kami, dan menargetkan tumbuh 7-10% atau mungkin sekitar 150-250 ribu rumah,” pungkasnya.
Kini di era 5G yang akan menjadi standar industri komunikasi, Edward menilai kolaborasi antara fiber optic dan 5G tidak bisa dihindari untuk memperluas cakupan. Apalagi masih banyak area di Indonesia yang masih belum terjamah internet, sehingga membutuhkan kombinasi arsitektur teknologi 5G dan fiber. Ke depannya, perusahaan tetap fokus memperluas cakupan wilayah dan penggunanya.
“Gabungan fiber dan 5G tidak terhindarkan dan harus dikombinasikan keduanya. Link Net juga punya peran mengembangkan 5G, karena kami sudah punya jaringan fiber yang cukup luas,” kata Edward.
[Dexpert.co.id]
(rah/rah)