Jakarta – Meskipun dunia sedang disibukkan dalam ‘perang’ melawan Covid-19 khususnya varian Delta, namun ternyata ada ancaman lain yang lebih mengerikan, yakni perubahan iklim (climate change).
Hal ini diungkapkan oleh pendiri Microsoft Bill Gates menyatakan mengakhiri pandemi Covid-19 jauh lebih mudah daripada mencegah dan menyelesaikan perubahan iklim. Tak main-main, dampak yang akan ditimbulkan salah satu masalah laten dunia ini akan jauh lebih buruk ketimbang jutaan kematian dan lumpuhnya ekonomi saat pandemi.
“Memecahkan masalah perubahan iklim akan menjadi hal paling menakjubkan yang pernah dilakukan umat manusia,” ujar pendiri Microsoft ini, seperti dikutip dari BBC, Rabu (18/8/2021).
Dalam blog pribadinya, Bill Gates memaparkan kerusakan yang muncul akibat perubahan iklim, adalah 14 kasus kematian per 100.000 populasi dalam 40 tahun mendatang. Jumlah ini diprediksi sama dengan kasus kematian akibat Covid-19 pada 2020.
Namun, jika pertumbuhan emisi tetap tinggi maka pada akhir abad ini diperkirakan perubahan iklim dapat menyebabkan 73 kematian tambahan per 100.000 orang. Dalam skenario emisi yang lebih rendah, tingkat kematian turun menjadi 10 kasus per 100.000 orang.
“Dengan kata lain, pada 2060, perubahan iklim bisa sama mematikannya dengan Covid-19, dan pada 2100 bisa lima kali lebih mematikan dari Covid-19,” terang Bill Gates dalam blognya.
Gambaran ekonomi juga mencolok. Rentang kemungkinan dampak dari perubahan iklim dan dari COVID-19 cukup bervariasi, tergantung pada model ekonomi yang Anda gunakan. Tetapi kesimpulannya tidak salah lagi: Dalam satu atau dua dekade ke depan, kerusakan ekonomi yang disebabkan oleh perubahan iklim kemungkinan akan sama buruknya dengan pandemi sebesar COVID setiap sepuluh tahun. Dan pada akhir abad ini, akan jauh lebih buruk jika dunia tetap berada di jalur emisi saat ini.
Dari sisi kerusakan ekonomi, dampak perubahan iklim cukup bervariasi tergantung model ekonomi yang digunakan. Tetapi kesimpulannya satu dalam satu atau dua dekade ke depan kerusakan ekonomi yang disebabkan perubahan iklim akan sama dengan pandemi Covid-19. Namun pada akhir abad ini, jika emisi tidak dikendalikan, bisa lebih buruk dari itu.
Menurutnya cara untuk menghindari iklim yang makin memburuk dengan mempercepat upaya kita sekarang, bahkan saat dunia juga bekerja untuk mengatasi virus corona. Filantropis itu menyebutkan cara menghindarinya dengan membangun dan menerapkan inovasi yang memungkinkan menghilangkan emisi gas rumah kaca.
Sementara itu, kewaspadaan terhadap ancaman yang sama juga mulai digaungkan lagi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Badan internasional itu bahkan mengeluarkan “kode merah untuk kemanusiaan” ketika para ilmuwan iklim terkemuka dunia menyampaikan peringatan paling keras tentang darurat iklim yang semakin dalam.
Hal ini berpengaruh pada kehidupan manusia. Salah satunya adalah dorongan untuk menunda kehamilan dan mendapatkan anak.
Pasalnya banyak pihak berpikir bahwa semakin banyak manusia berarti semakin besar emisi yang ditimbulkan dan kebutuhan pangan juga semakin meningkat. Alhasil “resesi” seks mungkin akan terjadi.
Tren ini diketahui pernah digaungkan oleh publik figur dunia.Pangeran Harry mengatakan pada 2019 bahwa dia dan istrinya Meghan berencana untuk memiliki maksimal dua anak, dengan alasan masalah lingkungan.
Analis di Morgan Stanley mengatakan dalam sebuah catatan bahwa gerakan untuk tidak memiliki anak karena kekhawatiran perubahan iklim telah tumbuh signifikan belakangan ini.
“Memiliki anak tujuh kali lebih buruk untuk iklim dalam emisi CO2 setiap tahun daripada 10 mitigasi paling dibahas berikutnya yang dapat dilakukan individu,” kata analis di Morgan Stanley seperti diwartakan CNBC International, Kamis (12/8/2021)
Untuk membuktikan hal ini,mereka menunjuk penelitian akademis yang menunjukkan perubahan iklim secara langsung dan tidak langsung mempercepat penurunan tingkat kesuburan.
Peneliti dari University of California, Los Angeles (UCLA) menunjukkan bahwa jumlah kelahiran di Amerika Serikat (AS) turun dalam sembilan bulan setelah peristiwa panas ekstrem.
Tak hanya di AS, penelitian terhadap 18.000 pasangan di China tahun lalu menunjukkan bahwa perubahan iklim terkait dengan kemungkinan penurunan kesuburan pasangan sebesar 20%.
Sementara itu, sebuah laporan dari Panel Antar pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menemukan bahwa dunia mungkin memanas hingga 1,5°C pada awal 2030-an. Kenaikan ini disebut sangat mengancam beberapa negara dengan ancaman terendamnya daratan dan habisnya sumber air bersih.
Lebih lanjut, ancaman perubahan iklim juga dialamatkan ke Indonesia. Hal ini diingatkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden beberapa pekan lalu. Dalam pidatonya di kantor Direktur Intelijen Nasional AS, presiden negara adidaya itu menyebut bahwa Jakarta terancam tenggelam dikarenakan perubahan iklim yang saat ini sedang menghantui seluruh dunia.
“Departemen Pertahanan mengatakan apa ancaman terbesar yang dihadapi Amerika: perubahan iklim,” tegasnya dalam pidato itu sebagaimana dipublikasikan whitehouse.gov akhir Juli lalu.
“…Apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar bahwa, dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena mereka akan berada di bawah air?”
[Dexpert.co.id]
(dob/dob)